Selasa, 24 Mei 2016

08.07
 Karya Nasrullah Thaleb


            SIANG itu adalah hari yang menyengat ketika aku mendapati diriku di atas balok kayu seukuran semeter, tanpa sehelai pakaian pun yang melekat di tubuhku. Aku tidak tahu, kapan celana jin-ku tanggal dan kemejaku terlepas. Semuanya terjadi tanpa kusadari, seperti sebuah mimpi. Begitu aku membuka mata, tiba-tiba saja aku sudah terdampar di tengah lautan dalam keadaan begini, terombang-ambing tak tentu arah layaknya setitik noda di hamparan luas lautan.
Hari apa ini? Kenapa aku berada di tengah lautan? Aku masih tercenung memandangi lautan, kenapa tidak ada ombak atau riak-riak kecil? “Hmm..,” aku berguman. Tempat apa ini? Tidak terlihat daratan sama sekali?” tanyaku dalam hati.

          Aku mendongak, memandangi langit dengan sinar matahari yang sangat terik. Cahayanya berkilau menentang mataku. Langit terlihat sangat biru, tak ada seekor camar pun yang terbang melintas, senyap, hanya suara gemericik air yang terdengar.Pandanganku silau oleh pancaran matahari, lantas berkunang-kunang begitu kualihkan ke arah lain.

“Oh!” desahku.

            Aku meletakkan tangan kananku di dahi membentuk ujung topi.Dua bulir keringat meleleh melintasi keningku yang hitam. Mataku yang terpicing, namun aku berusaha membukanya agar lebih jelas memandang segala penjuru, arah di sekelilingku. Aku berharap bisa menemukan sesuatu yang bisa membuatku lega.Tak ada kapal melintas, juga tak tampak sebuah perahu pun, bahkan tak ada setitik nokhtah yang membentuk; selain dirikusendiri. Aku kebingungan ke mana arah pasti aku mendayung balok kayu ini? Atau membiarkan saja ia mengapung mengikuti arah angin.Aku ibarat musafir yang tersesat di jalan tanpa tempat bertanya, yang terlihat hanyalah langit yang melengkung.

“Apa iya negeri ini sudah tamat?”Batinku, namun aku yakin ada negeri lain yang masih ada kehidupan. Aku mencoba mengayuh balok yang menghayutkanku sambil duduk serupa seorang nelayan linglungdi tengah lautan.Tiba-tiba terdengar guntur menggelegar di angkasa seperti suara malaikat yang sedang murka. Aku tersungkur karena terkejut ketakutan yang seketika membuat tangan dan kakiku sedingin es.

Karena panik aku berteriak, meminta tolong. Aku berharap ada yang mendengarkanku.

“Oh Tuhan ampunilah hambamu! Engkau yang mahakuasa atas segalanya selamatkanlah aku, aku akan bertaubat kepada-Mu. Aku adalah orang bodoh yang telah melenceng dalam hidup, piawai dalam tipu-menipu dan kerapberlaku kasar pada saudara-saudaraku. Hari ini aku mengaku menyesal,Tuhan ampunilah aku,” aku meratap. Setelah itu suasana kembali hening. Aku melongok ke depan dan ke belakang, senyap tak ada yang berubah, aku masih di tengah laut yang hampa. Dengan hati berdebar aku memberanikan diri mendongak ke atas, menyaksikan awan yang semula biru membaur dengan kabut hitam. Langit tinggi itu tiba-tiba saja mengeluarkan kilatan petir yang menyambar laksana mata pedang yang terhunus ingin mencincang tubuhku.

Sekuat tenaga aku mengayuh balok itu dengan kedua tanganku yang telanjang, bermaksud kabur dan balok itu pun bergerak dengan cepat, berputar-putar ditempat semula. Akhirnya ketika lelah, aku kembali tersungkur diatas balok basah itu,sia-sia danputus asa. Matahari telah condong melewati kepala, aku masih terombang-ambing, hanyut seperti sampah. Tidak ada tempat bernaung disini.Aku juga tidak bisa mengelak ketika matahari membakar tubuhku menjadikan kulitku semakin legam. Aku telah pasrah.

      “Mungkinkah hari ini kiamat?” aku kembali membatin.”Entahlah! Yang kutahu hari ini adalah bencana. Tetapi kenapa aku yang tersisa?Aku hanyalah manusia bebal yang hidup ongkang-ongkang kaki saja di negeri yang mulia ini. Kenapa Tuhan selalu menyisakan manusia-manusia bodoh dan bebal sepertiku di negeri ini? Atau Allah memang sengaja menenggelamkan negeri ini sebagaimana negeri-negeri yang telah ditenggelamkan-Nya?” Kemudian menyisakan manusia-manusia dungu sebagai penghuninya?” Begitu hatiku bertanya namun tak ada satu pun jawaban yang terjawab.
Pikiranku telah buntu, aku tidak bisa berpikir, dan hanya bisa duduk terpaku seraya memeluk lutut. Angin berhembus, meriakkan air, menggerakkan arus, yang perlahan mengombang-ambing balok kayu yang kududuki. Matahari semakin terlihat jauh begitu aku dikejutkan oleh teriakan orang-orang minta tolong di kejauhan. Tampak olehku sejumlah orang sedang terombang-ambing di bagian lautan lain, melambai-lambaikan tangan minta bantuan.

      “Oh, masih ada juga manusia bebal yang tersisa.” Seuntas senyum tersungging di wajahku. Senyuman yang sering aku lepas ketika menyaksikan orang lain sengsara. Ketika sadar bahwa bumi ini masih dalam kutukan, lekas-lekas aku memperbaikinya kemudian menangis menyesal. Aku kembali menyeret balok kayu itu mencari muasal suara, dengan tanganku yang kurus aku mendayung dengan sabar.

Aku tercengang dan bingung melihat semua ini.Banyak sekali manusia terdampar, tangan dan kakiku gemetaran, aliran darahku terasa terhenti menyaksikan pemandangan di depan mataku.

“Oh Tuhan, apa yang sebenarnya sedang terjadi di sini?” gumamku lirih. Orang-orang negeri ini sedang tenggelam. Cuma aku seorang yang tersangkut di atas balok kayu, sedangkan banyak manusia lainnya terombang-ambing tanpa ada suatu benda pun untuk bergelayut, yang menahan tubuh mereka agar tidak terbenam. Mereka semua menangis, menjerit-berenang kesana-kemari dalam hiruk-pikuk mencari tumpangan, ada dari mereka yang bergelayutan pada tubuh saudaranya hanya demi mempertahankan hidup tanpa perduli bala yang menimpa orang lain karena ulahnya. Ada yang berputus asa membiarkan saja tubuhnya tenggelam. Aku tercengang tidak berani mendekat, balok kayu ini hanya bisa menampung seorang lagi.Jika aku memilih salah satunya, bagaimana dengan yang lain?

Salah seorang dari mereka-entah lelaki atau perempuan, aku tidak bisa mengenalinya dengan baik karena jarak yang jauh-mencoba berenang mendekatiku, ia mengayuh dengan tenaganya yang tersisa, berusaha berenang seperti seekor hiu yang terdampar. Sedangkan beberapa lagi di belakangnya, mengikuti gerakan yang sama.Aku terduduk lemas menanti mereka mendekat. Dari jarak sekitar sepuluh meter, aku sudah cukup mengenalinya, ternyata ia seorang perempuan. Ia tampak begitu tua dan kelelahan berenang, berkali-kali kepalanya terbenam,tersedak, mulutnya mengap-mengap dengan wajah pucat memerah, berkali-kali terbatuk-batuk—buhuk--lantaran terminum air.

    Sekuat tenaga yang kian berkurang dan gerakan yang melemah, ia tak kuasa lagi mendekatiku yang hanya termangu-mangu memandangi tanpa berbuat apa-apa. Ia pun menangis melambai-lambaikan tangan yang kian melemah, sebelum akhirnya ujung tangan itupun menghilang tenggelam. Akupun tersadar kemudian, tersentak, dan tergesa-gesa mengayuhkan balok kayu mendekatinya, namun terlambat. Aku hanya dapat menyaksikan bayangan hitam merambat cepat ke bawah, dan hanya mendapati gelembungan terakhir dari sisa napasnya yang menyembul ke permukaan. Seluruh urat nadiku terasa putus aku seperti lumpuh tidak bisa bergerak. Melihat pertaruhan hidup yang sedang berlangsung di depanku, Aku tidak mampu lagi menahan air mataku yang tumpah.

        Aku menoleh ke arah yang berlawanan, ke kiri juga ke kanan. Di sana aku melihat masih ada berapa lagi manusia yang masih bertahan. Namun sepertinya mereka tak sanggup lagi berenang jauh, hampir seluruh tenaga mereka terkuras. Aku tidak tahu berapa lama sudah mereka terdampar di sini. Selama ini aku telah hidup hanya mementingkan diriku sendiri tidak ambil peduli akan kesusahan yang menimpa orang lain.

Aku mengayuh lagi, bergerak ke arah kiri, mendekati salah seorang lainnya yang tak jauh dariku. Aku berusaha tidak melakukan kesalahan kedua kalinya. Balok yang membawaku terombang-ambing-timbul tenggelam di atas air. Ketika tiba di hadapannya aku menahan laju dengan kedua tanganku. Ia adalah seorang perempuan, dan memang lebih banyak perempuan, semuanya telanjang. Sejenak aku tercenung melihat makhluk cantikyang seperti duyung itu berenang-renang kesusahan. Tak ubahnya serupa makhluk dalam cerita tentang negeri dongeng. Ia seorang gadis berambut hitam, rambutnya basah terburai. Kulitnya putih dan warna matanya cokelat. Bila aku perkirakan umurnya tidak lebih dari dua puluh tahun, beda jauh sepuluh tahun dari umurku.

“Tuan, tolonglah aku,” dia memohon lirih dengan napas yang tersenggal-senggal.” Aku sangat letih. Aku tidak sanggup bertahan lagi,” lanjutnya memelas.
Tanpa menunggu lama, aku segera bertindak, menggapai tangan bermaksud menariknya ke atas balok. Oh, betapa terkejutnya aku menyaksikan perempuan itu tanpa tertutup oleh sehelai benang pun, tubuhnya polos telanjang, dadanya mencuat, menonjol. Namun, gapaian tangannya terlepas, dan aku urung menariknya.

“Tuan, tolonglah aku! Aku ingin hidup. Aku ingin pulang. Aku tidak ingin mati disini,” ia kembali mengiba seraya terbatuk-batuk dengan tubuh yang setengah mengapung.

“Tidak, maafkan aku,” sahutku. Aku berusaha menjauh.
Air matanya mengalir ketika aku merenggangkan balok kayuku darinya. Aku tidak ingin menambah dosa dengan duduk bersama mengapung dilaut ditemani seorang gadis telanjang, bukankah Tuhan sedang mengutuk dunia ini?

Seketika aku memutuskan tetap membiarkan saja ia terhanyut. Ia tampak pasrah, tidak berusaha lagi berenang mempertahankan hidupnya walau sejenak.Ia hanya menatap kosong kearahku, selanjutnya tubuhnya pun tenggelam perlahan ditelan laut. Ada perasaan tersiksa dalam batinku, rasa bersalah juga rasa takut semua mengaduk-menyerangku.

Aku merasa letih dan mual. Aku sendiri tidak tahu berada dimana sekarang, aku tidak tahu kemana negeri ini lenyap? Negeri ini telah lama berjalan terseok-seok dan pada akhirnya harus hilang karam.
Aku memalingkan wajahku untuk menghindar, dan seketika itu aku kembali terperanjat. Di sana, di lautan yang maha luas, aku kembali menyaksikan ribuan manusia sedang tenggelam,berjuang untuk hidup, dan meraung-raung minta tolong!


* Nasrullah Thaleb adalah Ketua Komunitas Sastra Lhokseumawe (KSL) yang sedang berjuang mengembangkan sastra di kampungnya.

0 komentar:

Posting Komentar