Di Bawah Langit Senja
Di bawah langit senja aku berdiri. Sebentar lagi keindahan cakrawala kembali hadir. Tak berapa lama, semburat warna jingga mulai menerpaku. Ku pejamkan mataku erat. Ku sampaikan pesanku kepada langit bertabur warna jingga.
“Dan aku tak akan pernah lelah untuk menunggu kebahagiaan yang akan menyapaku nanti. Bersama langit senja, aku mampu berdiri. Mewujudkan impianku dan membahagiakan Ayah yang sedang menatapku di atas sana,” bisikku kepada senja. “Hei, apa yang kau lakukan di sini?” aku menoleh ke sumber suara. Seorang lelaki berdiri dengan melipatkan tangan di depan dadanya membuatku sedikit kaget.
“Aku Muhammad Dian Pramana, panggil saja Dian,” dia mengulurkan tangan ke arahku.
“Sedang apa kau di sini?” ulangnya.
“Oh, hai, aku Jingga Permata Putri, panggil saja Jingga,” ku balas uluran tangannya. “Menikmati senja,” jawabku kemudian ku alihkan pandanganku menuju gelombang ombak bergulung-gulung di laut biru sana.
“Aku tinggal di kampung sebelah. Sekolah di mana?” kemudian langkahnya mulai menjajariku. Lalu kita duduk di atas pasir putih ditemani deru angin yang meraung.
“Aku tinggal di kampung ini. Di SMA Wijaya,” jawabku yang membuatnya sedikit terkejut.
“SMA Wijaya? Aku alumni sekolah itu. Sekarang aku melanjutkan studiku di Taiwan,” jawabnya sembari tersenyum.
Langit mulai gelap. Hingga aku memutuskan untuk kembali ke rumah. Ku rebahkan tubuhku di atas ranjang. Sesekali wajah tampannya kembali memenuhi otakku. Mengingat wajah tampan Kak Dian membuatku merasa aneh. Ada rasa menggelitik yang aku sendiri tak tahu apa itu. Segera ku tepis bayangannya. Rasa kantuk mulai menyambar. Sehingga membuatku terlelap bersama bayangannya. Sebulan ku habiskan waktuku bersama Kak Dian. Setiap sore kita berdua menikmati indahnya senja. Tak jarang pula kita jalan bareng. Kedekatan ini mengusikku. Setiap kali bersamanya, ada perasaan aneh yang membuat degupku tak karuan. Ada rasa hangat yang menyambar. Ada rasa nyaman yang teramat sangat. Aku tak tahu apa yang terjadi pada diriku. Yang ku tahu, aku hanya merasa bahagia saat bersamanya.
“Hampir setahun aku tak bisa menikmati indahnya senja di Taiwan. Pada dasarnya, senja terindah adalah di sini,” kemudian dia menyesap kopi yang sempat dia bawa.
“Kapan mau balik ke sana Kak?” tanyaku sembari memeluk kedua lututku. Entahlah, sore ini angin lebih kencang dari biasanya. Sehingga rasa dingin menusuk kulitku.
“Mungkin seminggu lagi dek,” jawabnya kemudian menoleh ke arahku. “Ini pakailah, daripada masuk angin,” ia melepas jaket abu-abunya kemudian memakaikannya untukku. Perlakuannya ini membuat rona merah pada pipiku.
“Yah, seminggu lagi? Lantas, siapa yang menemaniku menghabiskan waktu bersama senja?” raut kecewa terlihat jelas dalam wajahku. Sejujurnya, aku tak ingin jauh darinya.
“Hei, ada apa denganmu? Aku tak akan ke mana-mana. Aku akan selalu ada untukmu,” kemudian dia mengusap rambutku layaknya anak kecil. Degupku semakin tak karuan. Lalu, dia mencubit pipiku yang membuatku cemberut. “Kalau cemberut gini, kamu makin cantik deh,” kemudian tertawa renyah. Aku memalingkan wajahku. Berusaha menyembunyikan rona merah pada pipiku.
Mentari menyapaku dari ufuk timur. Disambut oleh burung-burung yang berterbangan bernyanyi gembira. Embun yang membasahi dedaunan membuat hawa cukup sejuk. Ditambah angin pagi yang berlalu lalang menambah ketenteraman di pagi ini. Hari ini, Kak Dian akan kembali ke Taiwan. Aku akan mengantarkannya ke bandara. Ada rasa sedih dan kecewa. Tapi mau bagaimana lagi? Di dalam perjalanan, aku hanya diam. Ku lihat ternyata Kak Dian mencuri pandang ke arahku. Linda, adik Kak Dian hanya mengamati kediaman kami berdua.
“Kalian bertengkar? Tak seperti biasanya,” ucap Linda yang membuatku cukup gugup.
“Adek, jangan sok tahu ya,” jawab Kak Dian kemudian mengacak-acak rambut Linda yang membuatku tersenyum.
“Jaga diri baik-baik di sana, jangan nakal,” ucap mama Kak Dian. Kak Dian menganggukkan kepala kemudian memeluk wanita itu.
“Adek, jangan nakal ya. Jaga Mama baik-baik. Titip kak Jingga ya buat Kak Dian,” ucapnya kemudian memeluk adik semata wayangnya itu.
“Baik-baik di sana Kak, jaga kesehatan,” ucapku kepadanya kemudian aku mengulurkan sebuah kotak berwarna jingga kepadanya.
“Kamu juga ya, aku akan merindukanmu Jingga,” kemudian langkahnya menjauh dari kami.
Sebulan sudah dia meninggalkanku di sini. Seminggu terakhir ini dia tak menghubungiku lagi. Ada rasa rindu yang menyeruak dalam dada. tenggelam dalam lautan asmara yang tak bertepi. Di sinilah aku. Duduk di atas pasir menunggu kembali datangnya senja. Lambaian pohon kelapa yang diterpa deru angin menjadi saksi kehampaan hatiku saat ini.
“Kak Jingga, Linda boleh duduk?” suara Linda mengagetkanku. Kemudian dia duduk di sebelahku.
“Kak Dian apa kabar?” tanyaku memecah keheningan.
“Baik katanya,” jawabnya yang singkat membuatku sedikit bingung. “Apa yang kamu pikirkan?” lanjutku.
“Kak Dian beberapa bulan lagi akan pulang,” jawabannya membuatku semakin bingung.
“Bukannya kamu senang kalau Kakakmu pulang?” tanyaku menyelidik.
“Dia pulang dan membawa calon tunangannya yang kebetulan sekampus dengannya. Dia anak Surabaya. Dan aku selalu berharap kalau pada akhirnya Kak Dian bisa jadian sama Kak Jingga,” rasanya aku mendapat tamparan yang sangat keras. Ada rasa sakit yang menjalar dalam tubuhku. Lebih tepatnya dalam hatiku. Tunangan? Secepat itukah dia melupakanku? Sesakit inikah yang ku peroleh? Setelah memendam rasa yang pada akhirnya hati ini tak akan berlabuh kepada pemiliknya?
“Kak Jingga sayang kan sama Kak Dian?” aku hanya terdiam. “Jawab Kak!” lanjutnya. Sepatah kata pun tak bisa ke luar dari mulutku. Aku hanya tertunduk lesu. Di bawah langit senja, aku kembali mengadu. Memarahi diriku sendiri yang pada akhirnya cintaku bertepuk sebelah tangan. Linda terdiam. Dia menangis sesenggukan. Hening. Hanya suara gelombang ombak yang ramai. “Aku sangat menyayangi Kakakmu Linda,” hanya itu yang dapat terlontar dari bibirku ketika semburat cahaya jingga menerpaku. Semenjak kejadian itu, tak ada komunikasi antara aku dengan Kak Dian maupun Linda. Sekarang, hanya kekosongan yang menyelimutiku. Tak ada rasa bahagia yang menyapaku.
“Kamu kenapa sayang?” sapaan dari bundaku cukup membuatku terkejut. “Apa yang sedang kamu pikirkan?” tanyanya kemudian membelai rambutku dengan lembut.
“Tak apa Bun, hanya sedikit lelah,” jawabku tersenyum pahit.
“Kamu tidak bisa bohongin Bunda sayang. Mata kamu berbicara lain. Kalau tidak mau cerita ke Bunda, tidak apa-apa. Gini ya, yang namanya hidup pasti ada cobaannya. Bahagia dan sedih itu satu paket. Karena mereka tak bisa dipisahkan. Yang namanya hidup tidak mungkin lurus-lurus aja. Pasti ada saja halangan. Bagai hitam di atas putih. Jadi semua tergantung bagaimana kamu menghadapinya,” aku tertegun apa yang dibicarakan ibu. “Sudah malam sayang, ayo tidur,” kemudian ibu membiarkanku sendiri dalam lautan kebimbangan.
Anganku sering mendekap ragamu. Melepas semua rindu yang kian menumpuk. Apabila dihitung, sudah sebanyak rinai hujan yang turun sesudah mendung. Anganku sering mendekap erat ragamu. Sesering aku memimpikan untuk kembali bertemu denganmu. Selama udara ada untuk bernapas. Selama air yang terus mengalir hingga sampai ke muaranya. Dan selama itu aku menunggumu pulang. Kembali menyempurnakan jiwa dan ragaku. Aku menyayangimu dengan cara yang sederhana. Karena kau mampu membuatku sadar bahwa kau sempurna. Mentari kembali menyapaku dari ufuk timur. Diiringi nyanyian burung-burung yang berterbangan. Riuhnya angin pagi membuat suasana lebih sejuk. Terlihat, orang-orang sudah mulai sibuk dengan aktivitasnya.
“Allah, biarkan aku bahagia di hari ini,” ucapku penuh harap. Tak semestinya aku berlarut-larut dalam kesedihan yang tiada arti. Aku berdiri di depan cermin. Ku rapikan rambutku yang sedikit kusut. Kemudian aku ke luar menuju taman belakang rumah. Puluhan warna-warni bunga menyambutku.
“Mau ke mana, Nak?” Tanya bunda ketika melihatku terburu-buru.
“Ke pantai, Bun. Mau menatap senja,” jawabku lalu ku cium tangan yang mulai keriput itu kemudian aku berlari. Sedangkan bunda hanya menggeleng-gelengkan kepala saja melihat tingkahku seperti itu. Suara ombak menemaniku. Seperti biasa, ku tunggu senja beralaskan pasir. Angin berlalu-lalang yang sesekali menusuk kulitku.
“Dan mungkin, aku adalah senja, yang mendamba untuk memelukku fajarku, mungkinkah?” aku bergumam kepada deru ombak.
“Bukankah di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin?” ku toleh sumber suara. “Kak Dian?” aku terkejut. Apakah hanya sebuah imajinasi belaka? Ini angan? Ataukah hanya bayang? “Apa kabar kamu?” kemudian dia duduk di sampingku.
“Aku baik, kamu?” rasa canggung menyelimutiku. Jantungku berdetak lebih cepat.
“Maafin aku, aku terlalu ceroboh meninggalkanmu,” ujarnya sambil memandang langit yang mulai gelap.
“Tidak ada yang perlu dimaafkan,” jawabku tanpa menoleh ke arahnya.
“Ada,” pandangannya beralih kepadaku.
“Siapa?” ku pandangi dia. Orang yang ku rindukan selama ini sekarang ada di sampingku.
“Aku,” jawabnya. Matanya menatapku. Dan aku tak bisa mengalihkan matanya yang indah itu.
“Hidup adalah pilihan. Itu pilihanmu. Aku menghargai pilihanmu untuk menjauh dariku. Jadi, jangan merasa bersalah seperti itu,” jawabku. Ku alihkan pandanganku kepada ombak yang bergulung-gulung di dalam birunya laut.
“Lalu denganmu? Apa pilihanmu?” pertanyaannya membuatku menghembuskan napas panjang. Aku menoleh kembali ke arahnya yang masih memandangiku.
“Tinggal,” jawabku singkat.
“Dengan kata lain?” tanyanya menggebu.
“Tetap tinggal, menunggumu bersama senja,” jawabku. Kemudian semburat cahaya berwarna jingga membuatku terpesona. Cahaya jingga menerpa wajahku. Kak Dian tersenyum. “Bernapas di sampingmu membuat jingga sore lebih indah. Aku selalu menitipkan harapan kepada angin sore, harapan agar selalu bisa bersamamu,” ucapnya di tengah terpaan cahaya jingga.
“Maaf, aku telah membuatmu sedih. Aku lebih memilih bersamamu dan pergi meninggalkan dia. Karena kamu beda. Dan aku menyayangimu Jingga,” ucapnya membuatku speechless. Hingga akhirnya aku menangis. Menangis bahagia tentunya.
“So, tetaplah di sampingku. Jangan pernah pergi lagi,” jawabku tersenyum.
“Apakah kamu siap kita berhubungan jarak jauh?” tanyanya ragu.
“Jarak dan waktu tak ada artinya buatku. Karena pada cinta yang tulus, akan mengerti bahwa pada akhirnya, rindu akan menemukan jalan pulang,” jawabku tulus. Ku lihat dia tersenyum puas ke arahku.
“Please, be my girlfriend,” ucapnya kemudian memberikan setangkai mawar putih entah dari mana dia mendapatkannya.
“You are the reason why I’m in here,” jawabku sambil ku pandangi sosok spesial di hatiku.
“I Love you Jingga Permata Putri,” teriaknya di tengah deru ombak yang bergulung.
“I Love you too Muhammad Dian Permana,” jawabku tak mau kalah.
“Hanya setahun lagi sayang, setelahnya aku akan tetap di Indonesia bersamamu,” di bawah langit senja aku mendapatkan kembali semua cinta yang hampir hilang. Ditemani deru ombak yang meraung, sebuah perasaan yang ku pendam akhirnya terbalaskan. Dian, membuat senja sore lebih indah. Dan membuat Jingga merasakan kembali indahnya cinta.
Cerpen Karangan: Eriza Safrilla Haryono
Facebook: ErizaSafrilla
0 komentar:
Posting Komentar